Minggu, 05 September 2010

Sebuah Niat Berubah Menjadi Tragedi

Stok orang baik di Indonesiamemang tidak banyak, dan justru menunjukkan grafik yang cenderungmenurun dari segi kuantitas. Yang lebih tragis lagi, ketika stok orangbaik yang tersisa sedang menjalankan usahanya, yang terjadi malahterenggutnya 21 nyawa masyarakat yang berusaha memperoleh uang sejumlahtiga puluh ribu rupiah. Itulah kenyataan yang terjadi di Pasuruan, JawaTimur.

Fakta apakah yang direpresentasikan dari kejadian yangberlangsung di Jawa Timur? Apakah inti permasalahan dari kesenjanganyang begitu akut di Indonesia? Mengapa masyarakat Indonesia begitumengharapkan belas kasihan dibandingkan berusaha secara mandiri untukmemperoleh keuntungan?

Selepas kepemimpinan Soeharto yang sangatrepresif, Indonesia memang tidak lagi dikenal sebagai "macan Asia",seperti yang dikampanyekan oleh Prabowo Subianto. Ketika berlangsungera 1995-1997, Indonesia sedang berada di periode transisi antaranegara berkembang dan negara maju. Istilah yang digunakan olehPemerintah saat itu, melalui program Pelita-nya, adalah "tinggallandas", yang artinya Indonesia sudah meninggalkan label "negaraberkembang". Tapi realitanya, "pesawat" Indonesia justru gagal terbang,dan mengalami kecelakaan di lintasan pacu, karena "pesawat" yang dariluar nampak bagus justru memiliki kondisi yang berkebalikan apabiladilihat "onderdil" dalamnya. Indonesia pada era tersebut memang sedangmenikmati kejayaan artifisial, yang dibangun oleh rezim lama denganutang dan kerelaan untuk digerogoti melalui proyek eksplorasi sumberdaya alam. Sehingga ketika para spekulan moneter melakukan trial anderror di Asia Tenggara, Indonesia tidak berdaya untuk bertahan.Lembaga-lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Duniakemudian menawarkan resep ekonomi dari Chicago School yang lazimdisebut dengan neoliberalisme, dan kemudian diimplementasikan dalamkebijakan pemerintahan yang kala itu memang dalam euforia yang miriptahun 1966, yaitu rela untuk dijamah oleh tangan-tangan asing. Pascaterjadinya krisis moneter yang melanda Asia Tenggara, Indonesia tidakberhasil bangkit, baik dalam tataran makro maupun mikro. Memang,ekonomi Indonesia masih sedikit bisa bertahan dengan menjamurnya usahamikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang akhirnya menjadi landasanbertahannya ekonomi nasional. Tetapi tidak semua kalangan masyarakatbergerak di bidang UMKM. Yang terjadi justru pengangguran yang akut,dan meningkatnya usaha "entrepreneur" seperti mengemis, mengamen, danmerampok. Semenjak reformasi bergulir dan naiknya pemerintahan baruyang jauh dari kesan otoriter, represif, dan militeristik, masyarakatIndonesia yang berjumlah lebih dari 200 juta masih didera denganlemahnya daya beli, rendahnya tingkat pendidikan, sehinggamengembalikan Indonesia ke kotak negara berkembang.

Kejadian diJawa Timur memberikan gambaran kasar, bagaimana sesungguhnya kondisinyata yang dialami oleh masyarakat Indonesia. Setelah disuguhkanpemberitaan tentang antrian minyak tanah bersubsidi, bantuan langsungtunai (BLT) yang carut marut, dan berbagai bencana yang melanda, beritadari Jawa Timur menambah panjang daftar tragisnya masyarakat Indonesia.Dalam kejadian tersebut, seorang pengusaha dermawan dari Jawa Timursedang melakukan kegiatan rutin tahunannya yang dilaksanakan dalamrangka bulan puasa, yaitu memberikan sedekah bagi orang-orang tidakmampu. Tanpa bantuan dari polisi, maupun aparat lain yang berkaitandengan urusan ketertiban, kegiatan ini akhirnya berlangsung kacaukarena masyarakat berebut untuk memperoleh sedekah sehinggadorong-dorongan pun tidak terelakkan. Lebih dari 20 nyawa yangmelayang, dikarenakan kekurangan oksigen yang disinyalir karena keadaanberdesakkan, dan mungkin terinjak-injak. Jikalau ada aparat dalamjumlah yang cukup banyak untuk membantu pelaksanaan ini, mungkin sajakejadian maut kemarin tidak berujung kematian. Tetapi sang pengusahamungkin memiliki pertimbangan lain. Jika harus mengerahkan aparatberwajib dalam rangka menertibkan kegiatan yang dia rencanakan, makabiaya yang dikeluarkan tentunya harus lebih banyak. Fakta bahwa polisitidak akan bergerak kecuali dibayar oleh uang tunai, bahkan dalamkeadaan yang genting sekalipun, telah menjadi rahasia umum. Cara lainyang dapat ditempuh adalah dengan pelaksanaan door-to-door sehinggadapat menghindari berhamburnya masyarakat dalam satu titik yang akanriskan menimbulkan kondisi yang tidak diinginkan.

Apa yangsesungguhnya ingin dikuak bukanlah masalah metoda ataupun sikapkoruptif dan oportunis yang ditunjukkan oleh Polisi sebagai aparat yangberwenang. Yang menjadi inti permasalahan adalah sebegitu frustasinyamasyarakat dengan kondisi pada saat ini, sehingga uang sebesar tigapuluh ribu dikejar sampai harus dibayar dengan nyawa. Jika dilihat darikebutuhan sehari-hari saat ini, uang sejumlah tiga puluh ribu tidaklahberarti apa-apa, terutama jika digunakan oleh orang yang telahberkeluarga. Dengan estimasi makan yang paling murah sekitar lima riburupiah, dan sebuah keluarga kecil terdiri dari empat orang, maka uangsejumlah tiga puluh ribu rupiah hanya dapat digunakan untuk dua kalimakan. Sementara di lapangan, sudah sangat sulit untuk menemukanmakanan yang seharga lima ribu rupiah, dan keluarga dengan kondisiekonomi menengah kebawah berkecenderungan untuk memiliki banyak anak.Sehingga dapat dikatakan bahwa uang tersebut jauh dari cukup. Tetapidengan kondisi sekarang yang sulit, naiknya semua harga karena efekdomino kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), dan minimnya lapangankerja, pemberian uang secara cuma-cuma tentunya akan diburu olehmasyarakat yang mengalami kesulitan ekonomi, yang jumlahnya sangatbanyak. Apa yang terjadi di Jawa Timur telah menunjukkan kepada wargaIndonesia, bahwa pernyataan pemerintah yang mengatakan tingkatkemiskinan mengalami penurunan adalah sebuah kebohongan publik.Statistik yang dihasilkan oleh BPS hanya digunakan untuk mempermainkanwarga negara Indonesia dengan angka-angka "menyenangkan" yang samasekali tidak akurat. Kejadian ini juga menguak betapa keroposnyakondisi ekonomi Indonesia di tataran akar rumput, dan sialnya kondisiini dimanfaatkan oleh para aktor/pelaku politik yang sedang bertarunguntuk memperebutkan kekuasaan di tahun 2009. Masyarakat miskin hanyadijadikan komoditi kampanye politik dan diberikan janji-janji palsu,sehingga mereka terpikat dari akhirnya mengantarkan para oportunispolitik ke panggung kekuasaan yang akan mereka nikmati selama limatahun ke depan. Realita ini menjadi permasalahan yang berlarut-larut,dan nampaknya tidak ada keinginan dari para aktor yang memilikikewenangan pengambilan kebijakan untuk menyelesaikan masalah ini.

Pembagiankue pembangunan yang tidak merata juga menjadi titik permasalahanterjadinya kondisi seperti di Jawa Timur. 70% uang Indonesia berada diJakarta, dan sisanya dibagi ke 32 propinsi. 20% pelaku ekonomimenguasai 80% perekonomian Indonesia, dan mayoritasnya berada diJakarta. Fakta yang tak bisa terhindarkan ini menjadi penyebabkesenjangan yang begitu lebar dalam masyarakat Indonesia. Pelakuekonomi masih berorientasi pada Jakarta, dan pemerintah pun tidakberkeinginan untuk mengubah paradigma itu dengan lebih mengutamakanpembangunan di Jakarta. Kota-kota lain yang berusaha untuk membangundirinya, ditinggalkan begitu saja oleh Pusat. Tetapi ketika daerahmemperoleh keuntungan yang cukup besar, Pusat justru meminta bagiannya.Kesenjangan tidak hanya terjadi dalam aspek ekonomi, tetapi jugamelanda dunia pendidikan dengan hebatnya. Pendidikan yang merupakansilver bullet dalam mengatasi ketertinggalan, justru ditinggalkan dantidak dijadikan prioritas bagi elit politik di Pusat sana. Mereka lebihmengutamakan deal-deal ekonomi yang semakin merugikan negara Indonesia,mengurus konflik politik berkepanjangan, dan perseteruan antara tokohpolitik. Anggaran pendidikan yang tak kunjung disesuaikan dengankonstitusi, tidak dijadikan masalah bagi anggota DPR. Tetapi ketikaberurusan dengan laptop dan masalah negara lain, DPR dengan cepatbereaksi. Sikap koruptif yang ditunjukkan oleh birokrat-birokratpemerintahan di bidang pendidikan, yang sama sekali tidak mengertipendidikan, semakin memperparah kondisi pendidikan di Indonesia. Antarasekolah yang mahal sekali, dan sekolah yang mendalkan BOS sangatkentara perbedaannya dari sudut fasilitas dan kualitas pendidikan.

Sikapindependen dan mandiri sayangnya juga tidak terbentuk dalam mentalmasyarakat Indonesia, khususnya masyarakat menengah kebawah. Pemerintahterlalu sering untuk tidak ingin susah dengan pembinaan berkelanjutanatas masyarakat yang berada di garis kemiskinan. Alih-alih memberikanpancing, pemerintah justru memberikan ikan dengan program BLT yang samasekali tidak mendidik, karena melatih masyarakat Indonesia untukmenunggu menadahkan tangan dan menerima belas kasihan dari orang lain.Tetapi seringkali program pembinaan berkelanjutan yang direncanakandari pemerintah pusat, justru tersendat karena aparatur di tingkatdaerah kembali menunjukkan sikap koruptifnya dan akhirnya menjadikanprogram pembinaan berkelanjutan hanya sekedar formalitas dan seremonibelaka. Dimanjanya masyarakat akhirnya menunjukkan sisi negatif dalamkondisi kekinian yang semakin lama semakin terpuruk ke titik terendah.

Apakahkejadian di Jawa Timur tersebut mampu membuka mata hati dan mata kepalapemerintah pusat, pemerintah daerah, dan elit-elit politik yang seringmemanfaatkan mereka?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PInk Rose & Glory

PInk Rose & Glory

Pink Rose & HardWork

Pink Rose & HardWork